KRISIS MONETER INDONESIA "Perekonomian Indonesia"
I.PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah
berlangsung hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup
dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya
disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah
selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan
peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan
kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2
dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran
relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Lihat Tabel.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan
domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi
tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan
kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam
jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana
dari luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi
juga krisis kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang
badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada,
yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang
datang mengancam.
II. ISI
A. Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang
swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor
rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang
mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan
ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang
mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang
swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia
tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi
mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis
akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan
gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab
lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,
karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis
finansial (Nasution: 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama
membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang
pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli
1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini,
dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
1) Dianutnya sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim
devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang yang sebesarbesarnya
untuk orang bermain di pasar valas.
2) Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya,
menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan
pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari
kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam negeri yang makin lama
makin kalah bersaing dengan produk impor.
3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga Wessel et al.: 22), ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi
utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang
sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa
tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official debt).
4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing (bandingkan juga Ehrke: 2-3) yang dikenal
sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa
yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan
dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri
sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil.
5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Sistim ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan
mengundang tindakan spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal
14 Agustus 1997 (Nasution: 2). Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas
dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis (Nasution: 1) dan keadaan ini masih
berlangsung hingga saat ini. Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis
menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk
memberi bantuan finansial dengan cepat (World Bank, 1998: 1.10).
6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff: 10; IDE),
yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor
dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah
yang sangat overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah
dibandingkan dengan produk dalam negeri.
7) Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran dimingimingi
keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif
stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar. Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan
luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar
dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil
sekitar 4% per tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir
masuk.
8) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga
menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk
9) Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal. 22). Para spekulan inipun tidak
semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim
perbankan untuk bermain.
10)Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan
dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, di mana serbuan terhadap
dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi
dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya
ke luar negeri mengantisipasi ketidak stabilan politik dalam negeri.
Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi
pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang,
yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah
Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni,
kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997.
Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1. Penyehatan sektor keuangan;
2. Kebijakan fiskal;
3. Kebijakan moneter;
4. Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$
11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan
segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya
telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai
kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia
sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. (IMF,
1997: 1)
penghasilannya.
2. Mengingat pula bahwa lamanya waktu pemrosesan kredit juga berpengaruh cukup
kuat kepada kinerja, maka keputusan pemberian kredit kepada peminjam baru
hendaknya dilakukan sesegera mungkin, sedangkan pemrosesan kredit ulangan
hendaknya dapat diselesaikan pada hari yang sama.
3. Pengawas BPR hendaknya tidak melihat pemberian kredit dalam jumlah kecil-kecil
pada LKM sebagai suatu hal yang “tidak efisien” atau “tidak maju”, karena hal itu
justru sesuai dengan misi LKM membantu pengentasan kemiskinan. Mendorong LKM
untuk memberikan kredit dalam jumlah yang semakin besar berarti menjauhkan LKM
dari nasabahnya yang miskin, seperti terlihat pada gejala pemberian kredit BKK di atas.
4. BKD telah beroperasi selama satu abad dan BKK selama hampir tiga dasawarsa dengan
pendekatan pasar yang telah membuat mereka lestari (sustainable) dan mandiri,
keadaannya justru dibuat seperti “telor di ujung tanduk” karena banyaknya programprogram
kredit murah bersubsidi di perdesaan. Adanya kredit dari pemerintah untuk
BPR condong menguntungkan BPR Gaya Baru yang dimiliki para pemodal berdasi,
Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan 53
memungkinkan mereka menurunkan sukubunga kreditnya sehingga menambah pesaing
bagi LKM. Di era reformasi ini pemerintah seyogianya lebih membina semangat
keswadayaan masyarakat dan tidak menggunakan program-program kredit murah
sebagai alat politik karena merusak moralitas masyarakat perdesaan yang masih jujur
seperti terbukti dari perilakunya terhadap LKM.
dering, Annual Report.
B. Program Reformasi Ekonomi IMF
Menurut
IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat
terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang
itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu
pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan
IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies
(MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah
review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama
ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi
yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiskal;
- Kebijakan moneter;
- Penyesuaian struktural.
Untuk
menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar
US$ 11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$
3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15
Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai
persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan
dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut,
Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang
bisa dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan
pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37
milyar (menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini
dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan
program-program yang diprasyaratkan IMF. Karena dalam beberapa hal
program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan
berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua
yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of
intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang
mengandung 50 butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan
kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa
menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokokpokok
dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah
pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan,
maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary
memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7
appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua
persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian
utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan
struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
- menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
- memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
- menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi struktural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas
utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan.
Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan
kecilmenengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran
pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah
dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama
akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu
Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya
memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung
neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa
kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk
mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei
1998). Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal
bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September ini.
C. Kritik Terhadap IMF
Banyak
kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal
menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1)
program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara
tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF terlalu banyak mencampuri
kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs
secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia
(Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program
penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa
IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis,
sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah
satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam
anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja
negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus,
meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah.
Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam
anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini
tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran
belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi
10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat
defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan
deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar
rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.
Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar
rupiah ke tingkat yang wajar.
Anwar
Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF
bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana
caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi
pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar
1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai
sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah
peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah
tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan
biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat
khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai
mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan
keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan
pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik masing-masing, sementara
keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi.
Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang
disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”.
Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Saran
IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan
uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap
kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di
pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir 14, 16, 17, 21 dari
persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak
ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan
kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini.
IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak
secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan
memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan
mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu,
yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank
dan negara-negara sahabat. Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan
yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa
yang harus dilakukannya dan berputarputar pada kebijakan surplus
anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sektor riil yang
memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari
negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya
bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia.
Di
lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan
kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada
tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program
dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar
rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah
cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency
board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai
tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis
ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan
tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling
utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari
pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan
berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya jangka panjang.
Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka
hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan
ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara
besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam
diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari
pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi
struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan
penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka
panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana
makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak
perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual
barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya
memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak
terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar
negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai
riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak
disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian
kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF
benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak
tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan
perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi
Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di
balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan
politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi
IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi
ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan
belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (lihat World
Bank, 1996, bab 2;World Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan
IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan
kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat,
karena dalam jangka pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan
pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga
saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar
secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi
listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif
listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan
yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh
pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil,
meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya
jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit-banyak telah
membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda
kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan
dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap
dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998
disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis
barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah
seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir
tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober
1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan
11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah
diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari
Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar
yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar
rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai
rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya
subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar
dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada
konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak
berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun
dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat
sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain,
bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga
kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang
asing yang tinggal di Indonesia misalnya.
Dalam
kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari
terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas
naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini?
Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini
atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan
harga BBM dan tarif listrik.
Di
antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan
modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal
asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia
dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian
PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang
telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun
demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi
bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan
liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi
pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen
nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan
moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan
masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa
salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha
Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak
terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor
dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan
menggunakan kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani:
72-3).
Saran
IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya
dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk
menyusun Undang- Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari
persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Ikut
campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik,
karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan
kepercayaan kreditor luar negeri, yang akan memperlancar dan
mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai
perantara yang netral dan dipercaya.
D. Dampak krisis ekonomi pada perekonomian Indonesia.
Berbagai
dampak Krisis Moneter timbul di Indonesia. Krisis Moneter membawa
dampak yang kurang baik bagi Indonesia, ini disebabkan karena kurs nilai
tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan
dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah tetap. Dampak yang terlihat
seperti : Banyak perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan
alasan tidak dapat membayar upah para pekerjanya. Sehingga menambah
angka pengangguran di Indonesia. Pemerintah kesulitan menutup APBN.
Harga barang yang naik cukup tinggi, yang mengakibatkan masyrakat
kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan pokoknya. Utang luar negeri
dalam rupiah melonjak. Harga BBM naik.
Kemiskinan
juga termasuk dampak krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga
miskin di perkirakan sekitar 7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang
miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai mata uang rupiah yang tajam,
yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang
berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat
tajam karena tingkat inflasi yang tinggi.
Disaat
krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga
mengurangi pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang
meminjam uang pada perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang
lumayan tinggi, hal itu menambah beban utang Negara.
Pada
sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah juga membawa hikmah. Secara
umum impor barang menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan
lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan
impor rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor
khususnya yang berbasis pertanian.
Dampak dari krisis moneter lebih banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu di karenakan krisis ini mengganggu kesejahteraan masyarakat.
III. KESIMPULAN
1. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia kebanyakan merupakan kiriman dari negara lain dan bukan berasal dari dalam negeri.
2. Inflasi juga merupakan salah satu faktor terjadinya krisis tersebut.
3. Dampak
yang di timbulkan berbagai macam dan dampak tersebut kebanyakan membawa
pengaruh kurang baik terhadap Perekonomian Indonesia.
4. Krisis moneter berpengaruh langsung ke rakyat.
Saran
1. Pemerintah seharusnya mencari solusi yang baik untuk menyelesaikan krisis tersebut.
2. Pemerintah Negara juga seharusnya mengurangi utang luar negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar